top of page
Search
himtifpunhas

Rekonstruksi Nalar yang Paradigmatik

Hadirnya berbagai pahaman, mazhab dan isme didasarkan pada bagaiamana manusia memandang suatu fenomena yang terjadi. Tentunya setiap kondisi yang memiliki latar belakang yang berbeda menghasilkan cara pandang yang berbeda pula. Mengapa hal demikian dapat mempengaruhi perbedaan pemahaman dikalangan manusia sehingga lahir berbagai mazhab maupun isme?

Perlu diketahuai apa yang menjadi landasan yang menjadi pembeda dalam memandang fenomena yang terjadi. Dalam mencari suatu pengetahuan dan meyakininya dipengaruhi oleh “pandangan dunia ideologi” dari masing-masing subjek (manusia). Pertama yang perlu dibahas mengenai apa sebenarnya ideologi?

Ideologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani Ideos (ide) dan logos (ilmu).  Ideologi berisikian norma-norma yang dipegang  dalam menjalankan kehidupan. Bisa dikatakan ideologi merupakan aturan yang menjadi pedoman dalam menjalankan kehidupan. Ideologi menjadi suatu keyakinan manusia  yang dimanfestasikan dalam bentuk tindakan atau praktik (perintah dan larangan). 

Apa yang menjadi pengaruh sehingga lahirnya sebuah ideologi? Hal ini berkaitan dengan pandangan dunia. Ada relasi antara pandangan dunia dengan ideologi. Perlu diketahui pandangan dunia adalah penafsiran terhadap alam, masyarakat, sejarah, dan manusia. Hasil interpretasi terhadap kejadian mengenai hal tersebut yang mempengaruhi ideologi. Kalau ditanya mengenai pemahaman tentang alam pastinya cara pandang seseorang berbeda dengan lainnya. Pandangan dunia sebagai pondasi bagi ideologi. Jika di analogikan dengan rumah maka pondasi (pandangan dunia) akan menentukan struktur (ideologi) bangunan atasnya. Dengan demikian ideologi dipengaruhi oleh pandangan dunia.

Lantas mengapa terjadi perbedaan pandangan dunia? Akar perebedaan ideologi terletak pada epistemik (pengetahuan). Pengetahuan yang dimaksud dalam epistemik adalah Benar dan Salah. Pengetahuan melandasi pandangan dunia seseorang. Pada abad kegelapan (dark age) dapat diambil contoh mengenai pengetahuan yang berkembang pada saat itu, misalnya kebenaran yang diyakini pada saat itu adalah geosentris dimana pusat alam semesta adalah bumi. Secara eksplisit akan mempengaruhi caran pandang manusia mengenai alam semesta. Namun pengetahuan yang berkembang pada waktu itu dibantah oleh Copernicus dengan teori heliosentris nya. Kehadirannya mengubah paaradigma pengetahuan pada saat itu.

Pengetahuan epistemik sangat mempengaruhi cara pandang mengenai ilmu pengatahuan yang berdampak pada rana praktis manusia. Pemikiran yang menjadi landasan dalam bergerak di keseharian sangat bereperan disetiap lini kehidupan. Manusia yang diangurahi akal sebagai alat dalam membaca gejala alam sangat ditentukan dengan tingkat intelektualitas yang dimiliki.

Lalu muncul beberapa pertanyaan yang terkesan mudah, namun dalam penjabarannya dibutuhkan pisau analisis yang tajam dan mendalam. Apa yang menjadi urgensi dari pengetahuan. Apakah manusia bisa mendapatkan sebuah pengetahuan? Manusia yang dikarunia fitrah yang menjadi anugrah setiap individu butuh pantikan dalam mengktualkan potensinya. Manusia secara fitrawi cenderung mengarah pada kebenaran dan kebaikan. Perlu digaris bawahi pada pembahasan pengetahuan atau epistemik adalah persoalan kebenaran. Karena pembahasan mengenai kebaikan berbeda objek kajian. Maka kajian epistemik ini berlandas pada pengetahuan benar dan salah. Merujuk pada bawaan alamiah (fitrah) penting untuk menilik keabsahan pengetahuan yang benar. 

Lantas apakah manusia mampu mendapatkan pengetahuan? Kemungkinankemungkinan pengetahuan yang didapati manusia telah mengalami evolusi paradigma mengenai kemungkinan berpengetahuan. Sikap skeptis pada pengetahuan sudah terjadi jauh sebelum masa postmodern seperti sekarang. Dari zaman Yunani Klasik muncul beberapa cendikiawan yang mengkaji mengenai probabilitas manusia mendapatkan pengetahuan. Pada masa itu tokoh yang paling terkenal adalah Phyro. Sikap meragukan pengetahuan digaungkan oleh kaum sophis dengan tokoh terkenalnya tersebut. Dimana mereka menganggap bahwa manusia tidak mampu mendapatkan pengetahuan atas dalih keterbatasan indra yang dimiliki oleh manusia. Rene Descarrtes seorang filsuf modern Barat pun berangkat pada keraguan akan pengetahuan. Ada juga filsuf Timur yang terkenal dengan Tassawuf nya yaitu Al-Ghazali pun meragukan akan hakikat dari pengetahuan ini dimana, manusia hidup bagaikan dialam mimpi kita mampu merasakan pengalaman yang nyata namun pada saat terjaga hal itu (mimpi) sifatnya semu. 

Tumpuan dari keraguan para filsuf diatas mengenai probabilitas pengetahuan berlandas pada eksistensi dan keterbatasan alat yang dimiliki oleh manusia dalam menerjemahkan realitas. Jika demikian darimana mereka mendapatkan keraguan akan pengetahuan itu? Apakah secara tidak langsung mereka menjawab sendiri keraguan akan pengetahuan dengan pengetahuan (keraguan). Hal tersebut menjadi titik balik dari beberapa filsuf untuk menyempurnakan kembali kerangka pengetahuan mereka. 

 Berdasar pada pemetaan diatas barulah kita beralih pada analisis kerja rasio dalam menerjemahkan realitas. Hadirnya berbagai pemikiran dikalangan manusia saat ini menjadi polemik, dalam menentukan yang mana metode yang benar untuk digunakan? Apakah perbedaan rasio dan pemahaman dapat distukan dalam satu formula? Ataukah setiap metode yang dihadirkan dapat digunakan?

Pertama yang perlu diperhatikan adalah bagaiamana proses masuknya pengetahuan dalam benak manusia. Kajian mengenai epistemik sangat diperlukan karena kajian ini lebih concern terhadap bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Perkembangan pengetahuan banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang memiliki asas. Fenomena perkembnagan ilmu pengetahuan memiliki banyak delik dan saling bertentangan, terlebih lagi dinamika yang paling nampak terjadi di eropa. Dialektika yang terjadi pada masanya membawa manusia pada perkembangan teknologi dan perubahan paradigma secara besar. 

Terdapat dua mazhab pemikiran yang terkenal di eropa yang melahirkan banyak isme yaitu, kaum rasionalisme dengan empirisme. Akar perbedaan pada kedua pemikiran ini terletak pada cara mendapatkan pengetahuan. Dimana kaum rasional hanya menganggap hanya akal yang berpengetahuan dan indra terbatas pada apa yang diindrai dan tidak memahami. Sedangkan kaum empiris sebaliknya, menganggap akal tidak mampu memhami alam objektif tanpa melalui indra. Perdebatan diantara kedua belah pihak cukup ruwet untuk diurai dikarenakan perlu didudukkan konsep mengenai argumentasi dari masing-masing.

Berbeda dengan Timur yang mengalami stagnasi namun dari sisi pengetahuan secara fundamental tidak mampu di bantah oleh Barat. Tidak ada pendikotomian antara indra dan akal. Masing-masing memiliki pengetahuannya. Akal tidak mampu berhubungan langsung dengan alam objektif, maka perlu indra sebagai pintu masuk menuju akal. Indra yang terbatas bukan berarti tidak berpengetahuan.  Pengetahuan indra bersifat permukaan atau kenampakan, pengalaman dan lahiriah sedangkan akal adalah konsepsi dari apa yang ditangkap oleh indra yang telah terabstraksi. Dengan kata lain indra adalah pengetahuan sebagaimana adanya dan saling berkesinambungan antara indra dan akal. Atau bisa dikatakan korespondensi (kesesuaian ide dengan realitas). Artinya pengetahuan tidak terlepas hanya pada yang materil saji namun juga apa yang tak nampak itu. Keluwesan dalam memahami struktur pengetahuan untuk ranah epistemologi bagaiamana mensinkronkan antara indra dan akal dengan menggunakan neraca pengetahuan yang bermuara pada korespondensi tersebut.

 

0 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page