Dewasa ini kita sudah sangat familiar dengan istilah feminisme, kesetaraan gender dan masih banyak lagi istilah-istilah yang mengarah kepada hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi perempuan dalam kehidupan sosial. Tapi apa sih feminisme itu? seberapa penting isu tersebut sehingga terus-menerus digaungkan di ruang publik?
Sebelum membahas lebih jauh, mari kita berangkat dari definisi feminisme itu sendiri. Feminisme berasal dari bahasa Prancis femininine yang berarti "kewanitaan" atau menunjukkan sifat Perempuan. Sifat-sifat yang dimaksud biasanya adalah kelembutan, kesabaran, kebaikan, dll. Kemudian dalam B. Inggris (Oxford Dictionary of Biology halaman 222) disebut female yang artinya adalah jenis kelamin organisme, atau bagian dari organisme, yang menghasilkan sel telur.
Sedangkan secara tujuan feminisme sendiri merupakan sebuah pahaman yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Hak-hak yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki terhadap segala aspek dalam kehidupan sosial seperti akses pendidikan, politik, ekonomi dan pribadi. Gerakan feminisme telah melalui sejarah panjang baik di tingkat global maupun di Indonesia. Gerakan ini bermula di barat akibat adanya ketimpangan antara kaum perempuan dan laki-laki terhadap akses pendidikan dan ekonomi. Namun kita tidak akan membahas sejarah terlalu jauh, tapi di zaman sekarang apakah hal tersebut masih relevan diperjuangkan? Sedangkan akses terhadap hal-hal yang dimaksud sudah tidak ada pengecualian berdasarkan status seseorang itu laki-laki atau perempuan.
Bedasarkan definisi yang telah dijelaskan di atas, gerakan feminisme yang menuntut kesetaraan justru bertentangan dengan sifat-sifat dan karakter feminin itu sendiri. Hal tersebut justru semakin memperjelas bahwa seorang feminist lebih menghargai dan mengunggulkan maskulinitas dibanding feminitas dibuktikan dengan keinginan untuk dianggap setara. Padahal keduanya memiliki peran dan fungsi yang berbeda secara biologis sesuai dengan sifat dan karakternya. Banyak yang beranggapan bahwa sifat dan karakter seseorang dipengaruhi oleh konstruk sosial padahal sebagian hal tersebut dipengaruhi oleh aspek biologis/bawaan lahir (kodrat). Lebih parah lagi banyak perempuan di zaman sekarang yang menolak untuk berketurunan dengan dalih kebebasan dan kebahagiaan yang punya otoritas mutlak terhadap tubuh dan orientasi seksualnya. Bukankah itu sebuah pengingkaran terhadap fungsi feminin? Padahal perbedaan antara perempuan dan laki-laki hanya pada fungsi dan posisi, di antara keduanya tidak ada yang lebih unggul.
Adanya bias persepsi terhadap peran dan fungsi gender dalam masyarakat justru menimbulkan masalah baru seperti maraknya KDRT, perselingkuhan, seks bebas, LGBT, dll. Yang akar masalahnya bukan lagi terletak pada statusnya sebagai perempuan atau laki-laki melainkan mengedepankan ego pribadi diluar dari masalah-masalah sosial yang melatarbelakanginya. Sehingga alih-alih menyuarakan kesetaraan, feminisme pada praktiknya justru lebih condong ke arah keinginan untuk mendapatkan atensi lebih yang ujung-ujunya justru mendominasi bukan lagi menyetarakan. Misalnya saja muncul istilah ladies first di ruang publik yang menandakan bahwa perempuan ingin diistimewakan. Atau lebih jauh lagi dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Kemudian di tingkat global, pada salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu untuk Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan dan anak perempuan. Lantas di mana letak kesetaraan yang dimaksud jika dalam ptaktiknya justru diberikan keistimewaan?
Yang membuat gerakan feminisme lebih kacau lagi adalah gerakan ini terpolarisasi bahkan memunculkan gerakan baru yang menentangnya yaitu gerakan anti-feminisme yang justru muncul dari kalangan perempuan itu sendiri. Lantas kelompok mana sebenarnya yang benar-benar menyuarakan hak-hak perempuan? Ada banyak perempuan di luar sana yang telah membuktikan kemampuannya bersaing di masyarakat sesuai bidang keahliannya masing-masing, baik itu tokoh publik maupun masyarakat biasa. Namun sebagian yang lain justru berlindung di balik feminisme atas kelemahan dan ketidakmampuannya dalam barsaing di masyarakat.
Jika kita meyakini setiap manusia punya potensi yang sama tanpa memandang statusnya dalam kehidupan bermasyarakat maka hal tersebut harusnya dibuktikan tanpa ada yang perlu diistimewakan. Kesimpulannya, tulisan ini bukan bermaksud menjatuhkan perempuan berdasarkan statusnya sebagai perempuan, tapi berusaha mengkritik feminisme yang dianggap tidak konsisten baik dari segi definisi maupun aktualisasi.
Ditulis oleh Heterogenesis.
Commentaires