top of page
Search
himtifpunhas

Mungkin Rumahku #2

"Seorang pria berkeliling dunia untuk mencari apa yang dia butuhkan dan kembali ke rumah untuk menemukannya." - George A. Moore


Banyak hal yang memang membuat kita begitu lelah, gelisah, begitu terlipat hingganya sampai membuat kita berada pada sebuah titik yang benar-benar raut untuk di bahasakan. Sebagai maujud ciptaan, hal tersebut tentu menjadi bagian yang memang tidak dapat dielakkan dalam berkehidupan di alam.

Dibeberapa momen kita dapat “memilih”, dikarenakan sejak lahir dan berkehidupan manusia secara fitrawih dapat bebas memilih, hingga membuat kita memilih hal-hal praktis yang dianggap sesuai dengan kondisi jiwa kita.

Ketika seorang anak umur satu tahunan tanpa sengaja memecahkan sebuah kendi mahal yang berharga apa reaksi yang dapat kita berikan padanya ?.. kita memiliki gambaran bahwa ada tingkatan persepsi akan sebuah nilai antara si balita dan orang yang telah memahami betapa mahalnya barang antik itu yang kini menjadi puing-puing tak lebih berarti lagi dari sekedar penghias tegel halaman (bila diaktualkan).

Begitu gelap pada tingkatannya si balita itu memahami nilai pada suatu maujud di alam materi, namun disamping itu manusia secara fitrawih punya kecenderungan akan pengetahuan hingganya si balita itu memiliki potensi pada waktunya untuk memahami betapa berharganya kendi mahal yang dahulu telah dia jadikan sebagai boneka samsak temannya bermain (pada sudut persesipnya).

Denganya persoalan-persoalan terkait manusia begitu urgent kita bahas lebih mendalam membahas sisi manusia itu sendiri secara ontologis (keberadaan/eksistensi).

Kita kadang merenungkan sebuah pertanyaan filosofis, Apa yang menjadi indikator dikatakan diri kita telah benar-benar adalah manusia (manusia sebagai mana manusia itu sendiri) ? tentu di alam ini telah menyungguhkan berbagai literatur-litertur oleh para pemikir-pemikir yang mengikat hasil penelitiannya (hasil refleksi pemikirannya) dengan tulisan, olehnya tidak juga salah dikatakan sejarah dan tulisan sebagai sumber pengetahuan.

Pertanyaan tersebut juga berangkat dari perenungan penulis sendiri terkait urgensi pengetahuan, bagaimana mungkin merumuskan sebuah culture pendidikan (membahas pengetahuan) tanpa mendudukan persoalan terkait keberadaan manusia itu sendiri sebagai objek lalu pendidikan itu sebagai subjeknya.

Salah satu filuf asal Jerman yaitu Fried Nietzche (sependek pemahaman penulis), memandang keberadaan manusia sebagai manusia yang memiliki kecenderungan untuk menguasai, denganya kita memiliki gambaran terjadinya penindasan dll, dikarena manusia meletekkan lebih dalam kecenderungan akan daya menguasai ini.

Sementara filsuf kelahiran Austria bernama Sigmun Frued (dikenal juga sebagai filsuf psikologi) meletakkan eksitensi manusia kedalam tiga struktur kepribadian yaitu : id, ego, dan super-ego. Maka dari itu kita memiliki gambaran bahwa manusia memiliki kecendurngan akan dorongan hasrat (nafsu/kenikmatan).

Tentu masih banyak lagi filsuf-filsuf ataupun pemikir yang meletakkan pandanganya terkait eksistensi manusia, silahkan diakses. Shadratul Muta’alin contohnya seorang filsuf islam yang bagi penulis juga meletakkan eksistensi manusia begitu dalam, dimana Shadra meletakkan metode Sains, (partikular-induksi), filsafat (Universalia-akal), Intuisi hati (irfani), dan wahyu ilahi (teks) menjadi saling berkaitan sebagai stuktur epistemologi manusia dalam menyempurnakan tingkatan pengetahuannya.

Struktur itu saling harmonis dan tidak saling bertentangan, Shadra memandang manusia sebagai sesuatu yang maujud di alam membutuhkan sesuatu yang berada diluar dirinya dengannya itu manusia disebut mungkin wujud.

Karena manusia sebagai mungkin wujud artinya dia memiliki daya/potensi untuk mengaktual ini yang kemudian disebut dengan definisi gerak. Sederhananya segala kecenderungan-kecenderungan (fitrah) yang telah disinggung diatas memiliki daya/potensi untuk mengaktual (tidak ada kekangan yang memaksa) menuju sesuatu yang berada diluar diri manusia itu sendiri (aktualitas sejati).

Potensi manusia sebagaimana kecenderuangan-kecenderungan tersebut tidak menjadi sebuah hal yang mesti dikekang secara fitrawi artinya eksistensi manusia tidak dibatasi pada satu hal saja misalnya pada berpengetahuan semata, nafsu semata, berkuasa, memiliki kehendak untuk bebas, hingga melakukan hal praktis yang akan mengaktual. Fitrah yang bergerak menuju kerinduan di luar pada dirinya.

Maka pada posisi ini kita melihat Shadra meletakan pengetahuan bukan lagi sebagaiman pandangan Socrates yaitu cinta kebijaksanaan tapi pengetahuan sebagai “puncak kebijaksanaan” atau dalam isitlah populer filsafatnya yaitu Hikmah Muta’aliyah/kearifan puncak.

Sebagai penutup pada sesi tulisan kali ini, kita dapat mengkonsepsikan bahwa dalam tingkatan tataran manusia ada sesuatu nilai-nilai kemanusiaan dikarenakan keberadaan manusia secara objektif direalitas tidak bisa keluar dari alam dan ada fitrah pada diri manusia yang dapat mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan, apa potensi nilai-nilai kemanusiaan itu dapat redup ? bila kebebasan berpikir dan potensi itu dibatasi yang meniscayakan redupnya struktur pengetahuan dan tentunya kaderisasi dalam himpunan sebagai rumah perlu tetap mengaktual potensi-potensi itu, yaitu rumah ada pada diri kita sendiri dengan basis akal dan hati (Nafss).


Bersambung…





Ditulis oleh Kopi Gula Aren Dapat di Seduh sendiri.

2 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page