Bila kita simak judul diatas memunculkan banyak kemungkinan gambaran akan maknanya, bisa jadi judul diatas kita maknai begitu puitis, atau bahkan mungkin lebih terdengar melankolis. Tentu tidak ada yang salah dengan itu karena pada hakekatnya masing-masing manusia memiliki gambaran pemaknaan imanjinatif berdasarkan pengalamannya.
Imajinatif akan cinta misalnya, tentunya semua orang memiliki gambaran yang bersifat universal terkait cinta namun landasan terbentuknya imajinatif itu didasari pada pengalaman subjektif masing-masing orang. Apakah itu pengalaman cinta akan suatu benda, cinta akan club kebanggaan, cinta akan lawan jenis, cinta akan pengetahuan ataukah itu cinta berdasarkan pengalaman-pengalaman lainnya.
Maka secara imajinasi masing-masing orang memiliki gambaran terkait cinta tapi berbeda-beda secara pengalaman. Alam memang adalah aktornya, karena mustahil terbentuk imajinasi sebagai pengetahuan tanpa landasannya di alam.
Gustave Effeil misalnya tentunya ia akan kesulitan membangun Menara effeil kalau sebelumnya dia tidak memiliki pengalaman yang panjang akan teknik arsitektur hingga sampai sukses memunculkan imajinatif yang kini diakui sebagai salah satu menara dengan desain menakjubkan di dunia,
Ataukah seorang mebel kayu tidak akan piaway membuat meja dari kayu kalau sebelumnya dia secara primer tidak pernah membuat meja kayu, gagasan akan konsep membuat meja dari kayu ini yang terus berkembang hingga benar-benar membuatnya begitu professional.
Secara sederhana tentu kita tidak akan mengetahui sesuatu bila kita tidak berjumpa lebih dahulu dengannya di alam sehingga ini disebut dengan informasi primer, setelah berjumpa barulah kita memiliki konsep akan sesuatu itu yang disebut informasi sekunder,
Dengan demikian sebagai makhluk yang memiliki kemampuan mempersepsi segoyahnya mengaktualkan potensi akalnya adalah kecenderungan yang mesti terus dilatih, sehingga sejauh ini kita sudah menyinggung perihal alam sebagai objek informasi, landasan pengetahuan (primer) yang selanjutnya dipahami oleh manusia sebagai subjek yang mengetahui, segala informasi (sekunder) yang didapatkan dan dibentuk oleh pengalamannya di alam.
Imajinasi secara teoritis memang begitu indah dikarenakan sifatnya yang tidak stabil kadang ia menjadi begitu sempit tapi kadang juga bisa meluas seluas-luasnya, itulah kemampuan akal manusia dengan pengetahuan yang didapatkannya melalui fenomena-fenomena pengalamannya dialam.
Imajinasi dan Cinta merupakan hal yang seharusnya beriringan, cinta yang dimaksudkan yaitu cinta yang tidak mendeterminis ataupun menuntut apalagi bila sesuatu itu sifatnya materi dan konsep akan cinta sebagaimana yang telah disinggung diatas dibentuk oleh imajinasi yang didasari oleh pengalaman masing-masing orang.
Sebagai pengetahuan, konsep akan cinta mengarapkan sebuah kebebasan, sehingga sejauh ini cinta yang dimaksudkan mestinya adalah semua pengetahuan yang diperoleh, dan mestinya tidak lagi perlu dijelaskan dari mana pengetahuan itu diperoleh, itu sudah berkali-kali disinggung dari mana landasan pengetahuan itu diperoleh yaitu alam.
Secara fitrah tidak ada yang lebih berharga daripada sebuah kemerdekaan dan kebebasan dari seorang manusia, dan mestinya orang yang terus melatih persepsi imajinernya yang terbentuk oleh pengalaman-pengalamanya menumbuhkan cinta dalam dirinya, dalam artian sederhana tidak merasa kekurangan secara materil yang dapat menumbuhkan rasa ego,iri dan lainnya yang memenjarakan dirinya.
Karena bahwasanya dia menumbuhkan cinta dalam dirinya dengan sebuah pengetahuan yang membuatnya tidak terbelenggu oleh sesuatu hal yang material saja, walaupun sebenarnya dalam hal kehidupan praktis tetap mesti objektif.
Dan pada dasarnya persoalan dituntut, jiwa manusia secara fitrah selalu menuntut akan sebuah pengetahuan dikarenakan manusia adalah mahluk yang berpengetahuan, namun menumbuhkan cinta akan pengetahuan yang dimaksudkan untuk mengakualkan fitrah kemanusiaan dalam dirinya (keseimbangan Hidup),
Dengannya itu imanjiner akan manusia yang cinta akan pengetahuan dan berusaha terus melatih imanjinernya adalah bagian dari proses menumbuhkan cinta dalam dirinya, bara dalam fitrah kemanusiaan ini memang tidak secara instan menjadi suatu muara yang begitu besar dan mungkin hanya menjadi sebuah bagian dari pojok sudut-sudut terkecil atau bahkan hanya sebagai setitik debu
Hanya saja bila titik-titik debu ini dikumpulkan, tumbuh dan terus berkembang menjadi sebuah muara, analoginya akan menjadi sebuah muara yang padat dan membaraa, mungkin ini sedikit gambaran bagaimana pengetahuan, cinta membentuk sebuah titik debu yang dalam prosesnya sebagai jalan-jalan sunyi kemudian berkumpul menjadi suatu muara peradaban.
Ditulis oleh Perindu
Comments