Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan. Adanya tidak kurang dari 500 suku bangsa di Indonesia menegaskan kenyataan itu. Masyarakat adat didefinisikan sebagai “Sebuah kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua warganya”. Menurut Kuoni ada lebih dari 300 suku bangsa yang jumlah populasinya banyak diIndonesia. Bahkan menurut laporan BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2011 ada 1.340 suku bangsa. Suku bangsaJawa adalah suku bangsa yang paling banyak populasinya di Indonesia dengan jumlah mencapai 95,2 juta orang (40,2% dari total populasi). Suku bangsa kedua terbesar adalah Suku Bangsa Sunda yang jumlahnya mencapai36,7 juta orang (15,5% dari populasi). Suku Bangsa Batak, dan Suku Bangsa Madura adalah suku bangsa terbesar berikutnya di Indonesia. Sifat kebhinnekaan Indonesia justru lebih memperkuat keinginan untuk bersatu dalam mencapai cita-cita bersama. Oleh karena itu kebhinnekaan masyarakat Indonesia perlu dilihat sebagai sesuatu yang cair dengan tujuan adil, makmur dan bermartabat bagi tiap warga negara. Cair dalam arti bahwa ada kebutuhan situasional dan konstekstual yang perlu diperbaharui dan/atau direvisi dari waktu ke waktu atau perubahan waktu.
Namun di era yang serba percepatan ini Indonesia seakan lupa tentang bagaimana suku adat semakin terpinggirkan bahkan telah punah, salah satu contoh dari kebobrokan kebijakan di Indonesia yaitu film dokumenter yang sempat viral dan banyak dibicarakan di kalangan mahasiswa dan masyarakat, dimana kinipan menceritakan bagaimana masyarakat mempertahankan tanah adat yang akan di alih fungsikan menjadi industry perkebunan sawit. kebijakan pemerintah seakan tidak pro terhadap hak masyarakat adat untuk tetap mempertahankan tempat tinggalnya atau habitat mereka. Mereka dengan segala kebijakan-kebijakan salah satu contoh yang diangkat dalam film kinipan yaitu omnibus law dimana kebijakan tersebut salah satu regulasi yang memudahkan perusahaan-perusahaan dalam mengekploitasi alam dengan dalih pertumbuhan ekonomi, pembangunan dalam lapangan kerja, tanpa melihat apakah masyarakat memang butuh hal tersebut? Tanpa mempertimbangkan bagaimana ekosistem alam menjadi tidak seimbang akibat dari alih fungsi lahan tersebut populasi hewan saling berkaitan antara predator dan mangsanya sehingga manusia akan berdampak.
Selain film dokumenter kinipan diatas, film dokumenter lainnya yang dipublikasikan 28 agustus 2015 dengan judul The Mahuzes film yang mengangkat tentang masyarakat papua yang memiliki sejuta keunikan alam dan budayanya, papua dengan segudang permasalahan mulai dari pendidikan, SDM, perampasan alam, pelanggarakan HAM, dan konflik social antar suku yang belum tuntas. Film yang di garap oleh sutradara Dandhy laksonono dan kawan-kawan atau disebut ekspedisi Indonesia biru mengangkat isu tentang konflik masyarakat adat malind dan industry perkebunan kelapa sawit. lagi-lagi kita melihat realitas bahwa masyarakat minoritas adat mengalami kekerasan, masyarakat adat terpinggirkan yang mana itu karena lagi-lagi kebijakan pemerintah.
Film The Mahuzes menceritakan tentang pemerintah Indonesia ingin menjadikan papua sebagai lumbung pangan (beras) dan energi untuk kepentingan ekspor. Memang langkah yang dilakukan pemerintah untuk membangun papua sangat baik, namun yang perlu dipertanyakan bagaimana nasib masyarakat asli papua? Apakah bisa menerima kebijakan ini? Apakah dengan mengeksploitasi hutan mensejahterakan kehidupan mereka? Atau malah menjadi budak nantinya? Ya//ng terlebih bagaimana ekosistem alam nantinya? Benar saja kekhawatiran ter/sebut terjawab bahwa masyrakat suku malind sangat menolak hutan tempat tinggal mereka, tempat mereka berburu kehidupan di gusur atau di hancurkan. Dengan banyak pertimbangan selain membabat hutan dan menghilangkan sumber pangan dan sandang, air sungai juga akan terkontaminasi oleh limbah.
Dalam memperjuangkan hak ulayat masyarakat adat memaknai tanah lebih dalam yaitu Pemaknaan tanah sebagai suatu identitas dan menganggap adanya upaya perampasan tanah oleh pemerintah menjadi alasan substansial. Selain itu masyarakat memaknai tanah bukan hanya sebagai fungsi ekonomi semata, namun juga fungsi sosial dan kultural. Jika kita lihat pada kebijakan Keberadaan masyarakat adat di Indonesia diakomodir melalui Undang-undang Dasar 1945 pasal 18 B ayat 2 menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Selain hal tersebut pengakuan atas masyarakat adat juga terkamktub pada pasal 28 ayat 3 tentang identitas budaya dan hak masyarakat adat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Kondisi ini mempertegas posisi masyarakat adat memiliki independensi dan kemandirian dalam pengelolaan kebudayaannya bahkan difasilitasi oleh Negara. Namun realita yang ada perlu dilihat dan dikulik kembali.
Perjuangan masyarakat untuk mempertahankan hak ulayat tidak terlepas dari adanya solidaritas bersama. Pemaknaan tanah sebagai suatu identitas dan menganggap adanya upaya perampasan tanah oleh pemerintah menjadi alasan substansial. Selain itu masyarakat memaknai tanah bukan hanya sebagai fungsi ekonomi semata, namun juga fungsi sosial dan kultural. Simbol perjuangan memakai jargon Hutan Adat (tanah ulayat) bukan hutan Negara sesuai dengan amanat konstitusi. Semangat perjuangan ini kemudian diterjemahkan dengan pembentukan komunitas adat bius hutaginjang. Pembentukan komunitas adat bius hutaginjang sebagai saluran perjuangan mempertahankan hak ulayat dari klaim pemerintah. Komunitas adat merangkul setiap elemen masyarakat berdasarkan filosofi dalihan na tolu. Ini menjadi kekuatan cultural bagi komunitas adat dalam menyatukan pemahaman mengenai perjuangan. Melalui komunitas adat juga sebagai alat dalam membangun jaringan dengan elemen yang terlibat dengan penguatan dan pengorganisasian masyarakat. Strategi dan taktik dipilih oleh komunitas dengan melihat setiap peluang atau celah dari setiap peraturan yang berlaku.
Dari contoh nyata diatas yang diperlihatkan melalui film dokumenter timbullah pertanyaan kemudian “berpihak atau tidakkah pemerintah terhadap masyarakat adat”?, maka jawabannya dapat dicari pada dua format paradigma yang paradoks, yakni “developmentalism” dan “environmentalism”. Pengusung paradigma pembangunan menyadari akan diversivitas masyarakat dan hak-haknya, tetapi kesadaran itu bukan menjadi prioritas mereka. Pembangunan berwawasan lingkungan atau pembangunan berkelanjutan adalah sebuah konsep yang ideal, dan tidak selalu berbentuk ketika modal dan kebutuhan pembangunan menjadi panglima.
Berbicara tentang local wisdowm yang telah ada sejak lampau, kita lihat contoh nyata yang dilakukan oleh masyarakat adat yaitu bagaimana mereka dalam praktik mempertahankan ritme bermasyarakatnya yaitu salah satu contoh pada masyarakat suku dayak yang mempertahankan gerak bermasyarakatnya dengan cara kerja-kerja komunal yaitu melakukan kerja kolekitf saling gotong royong, selain itu masyarakat suku adat baduy dalam mempertahankan cara hidup mereka dari hegemoni Negara, dengan tetap melihat kemajuan teknologi yang berasakan kebutuhan. Yang mana dunia industrial tidak terlepas dari sikap individualisme.
Selain tentang bagaimana ritme bermasyarakat yang diciptakan oleh masyarakat suku adat, jauh lebih lampau dan lebih luhur masyarakat adat sudah mempraktikan tentang bagaimana meghargai sesama manusia dan tercermin dari bagaimana mereka memperlakukan alamnya. Mereka telah melampaui hak asasi manusia kedalam hak atas alam atau hak bumi yang jauh lebih luas. salah satu contohnya pada masyarakat adat ketika mereka ingin menebang pohon pasti mereka menanam pohon kembali, dan melakukan beberapa ritual-ritual sebagai bukti diakuinya pohon-pohon sebagai suatu yang bernilai sebagai bukti bahwa masyarakat adat telah memberikan hak terhadap pohon, hak terhadap tanah, hak terhadap seluruh makhluk hidup. Dimillenials ini barulah diperdengarkan tentang istilah the right of nuture bahwa pohonpun punya hak untuk berbicara di depan pengadilan sebagaimana anak bayi yang telah memiliki hak dasar sejak lahir yang jika dilanggar maka ia berhak untuk diwakili berbicara di depan hukum. Hal itu sepantasnya kita dukung yang mana masyarakat adat sudah sampai pada perilaku seperti itu.
“Eksploitasi terhadap sesama manusia itu akan tetap terjadi jika eksploitasi terhadap alam juga tetap berlangsung” dari prinsip tersebut dapat kita renungi bahwa dalam memperbaiki hubungan sesama manusia, perlu untuk memperbaiki atau memperhatikan bagaimana memperlakukan alam semesta. Maka dengan sendirinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia akan terselesaikan.
Ditulis oleh Manusia Kepbetulan Perempuan.
コメント