"Lucu sekali pulang ke rumah. Tidak ada yang berubah. Semuanya terlihat sama, terasa sama, bahkan baunya pun sama. Anda menyadari apa yang berubah adalah Anda." - F. Scott Fitzgerald
Memang begitu melelahkan menembus aktivitas keseharian, berbagai kegiatan didunia tersaji begitu kompleks mulai dari hal besar seperti puzzel peradaban yang dengan perlahan dirangkai ataupun hal kecil sekalipun akan selalu merindukan sebuah kepulangan.
Bak ibarat peperangan yang sengit, kembali dengan damai kekampung halaman adalah salah satu alasan untuk menuntaskan ataupun beranjak sementara walau hanya sekedar menyalurkan rindu ataupun menikmati secangkir teh hangat diteras rumah.
Ketika mendengar kata “pulang” sepintas kita memunculkan imajinasi tentang rumah masing-masing, entah itu rumah yang menjadi halaman bermain sejak kecil, rumah bersama keluarga yang nyaman, dan pada intinya tentang rumah bagi sebagian imajinasi orang adalah tempat yang elok bagi dirinya bagaikan sebuah istana sebagaimana pendapat Tracey Taylor bahwa “ Rumah adalah tempat Anda merasa dicintai, dihargai, dan aman."
Sebagaimana pula istilah “rumahku adalah istanaku” mengambarkan bahwa dirumah sendiri kita menjadi orang yang begitu leluasa, tidak bergitu berpura-pura, membuat kita begitu tentram dan nyaman.
Membicang terkait rumah nampaknya juga cukup menarik bila kita menyempatkan membaca sebuah buku yang ditulis oleh seorang sejarawan bernama Yuval Noah Harari berjudul “Sapiens” pada bab revolusi agriculturenya dimana mengisahkan sekitar 12.000 tahun yang lalu di masa itu sapiens (manusia) mengalami jembatan transisi dari nomaden (berburu-mengumpul) memasuki fase bertani-menetap dan dalam prosesnya itu terjadi yang disebut domestifikasi.
Lompatan tersebut begitu menarik untuk dibahas sebagaimana pendapat Yuval, bahwa sebenarnya sapiens bukan menaklukkan benih gandum, jewawut dan tanaman lainnya untuk dapat bertani, melainkan sebaliknya.
Kata domestifikasi sendiri berasal dari bahasa latin yaitu demos yang artinya rumah, dan nampaknya sapiens lah yang terdomestifikasi atau masuk kedalam rumah gandum, jewawut dan spesies tanaman lainnya dan terjebak didalamnya hingga tidak dapat keluar lagi.
Sebagai ilustrasi bayangkan disaat masih berburu mengumpul dipagi hari Sapiens disungguhkan dengan sarapan kelinci bakar yang ditabur bawang, disiang harinya zebra panggang, malamnya dengan lahapnya memakan ikan nila dengan hidangan cuci mulut beranreka ragam buah-buahan segar.
Lantas mengapa Yuval mengisahkan sapiens akan memasuki kehidupan yang lebih berat ketimbang masih berburu-mengumpul yang kemudian beralih memasuki kehidupan bertani-menetap ? dan bagaimana gandum dan sekawannya mampu meyakinkan Sapiens untuk mau menukar kehidupan yang sedikit lebih bagus dengan kehidupan yang sedikit lebih menderita itu ?.
Terperangkapnya sapiens dikarena jumlah kelahiran yang begitu pesat sulit untuk dibendung lagi, ini juga dijelaskan dalam buku menarik lainnya karya Jared Diamond berjudul Guns, Greem and steel atau Bedil, Kuman, dan Baja, pada saat masih berburu-mengumpul jumlah kelahiran terbilang lebih kurang ketimbang setelah bertani-menetap.
Alasannya karena pada saat berburu-mengumpul sapiens kesulitan mengasuh anak bila melebihi kapasitas bahkan barang bawaan yang dianggap tidak begitu penting tidak menjadi sebuah alasan untuk ditinggalkan, tentu itu akan menghambat belum lagi resiko kehidupan dialam yang terbilang sangat berbahaya.
Ketika menetap dan bertani jumlah kelahiran begitu rapat dikarenakan kegiatan yang sudah tidak lagi berpindah-pindah dengannya itu membuat sapiens yang terjebak dalam rumah gandum, jewawut dan sekawannya harus kerja ekstra untuk merawarnya.
Gandum, jewawut, dan sekawannya begitu manja membuat sapiens harus terus menjaganya sepanjang hari hingga membuatnya begitu terperangkap belum lagi jumlah populasinya sapinens yang semakin membludak.
Gagal panen, dan kekhawatiran lainnya mulai menjadi beban pemikiran bagi sapiens tapi setidaknya ini membuat akal dari sapines berkembang, membunuh populasi sapines yang masih baru mungkin bisa menjadi alasan untuk meninggalkan kehidupan yang rumit itu lalu kembali pada kehidupan lamanya, namun juga hati dari sapines sudah terlanjur luluh dan kemungkinannya kecil untuk melakukan hal kejam itu.
Sehingga masa depan bagi sapiens yang bertani-menetap ini juga mulai jadi orientasi, tentu itu sedikit gambaran dari banyaknya catatan sejarah yang bisa kita urai sebagai penganggalan-penggalan informasi pengetahuan yang tidak hanya sebagai sesuatu yang diromantisme kan tapi setidaknya menjadikan sebuah refleksi kedepan.
Perkembangan manusia dan alam ini yang terus berubah-ubah (tidak statis), sebagaimana kata salah satu filsuf Yunani Kuno Heraclitus bahwa tidak ada sesuatu yang benar-benar statis sesuatu bergerak bagaikan alir mengalir.
Begitupun setidaknya gambaran manusia yang mengalami perubahan pada dirinya artinya kita memiliki gambaran bahwa kualitas manusia tercerminkan dari pengetahuan yang diperolehnya sejak lahir hingga usia penempuan pengetahuan itu berlangsung, yah tentu pengetahuan adalah sesuatu yang niscaya bukan sesuatu yang dimungkinkan ada.
Lingkungan menjadi salah satu bagian yang mendeterminis kemampuan manusia memperoleh pengetahuan atau bahkan meningkatkan tingkatan persepsi. Mengarungi lautan pengetahuan tentu menjadi bagian kecenderungan manusia itu sendiri.
Belajar dengan terstruktur dan sistematis adalah metodologi yang patut diusahakan, kaderisasi pada organisasi atau rumah diskusi mahasiswa juga adalah bagian dari usaha tersebut bila dilakukan dengan bijak dan terukur.
Bersambung….
Ditulis oleh Jaring-jaring Kelabu
Comments